Meski keningnya basah dan
nafasnya masih terengah-engah, ia bergegas mengangkat badan hingga dalam posisi
duduk. Matanya memandangi langit-langit kamar yang suram dan berusaha
memasukkan lebih banyak oksigen ke dalam paru-parunya.
“sebenarnya, apa yang akan terjadi hari ini?” Gumamnya
Setelah merasa lebih
tenang mendapatkan cukup udara dan akal sehatnya mencapai angka 100 persen, ia
bergerak menuju pintu, menekan saklar lampu kamar kos-an dan bergegas menyambar
botol air mineral 600 ml lalu meneguknya hingga tinggal setengah.
Diusapnya sisa peluh yang masih menempel di pelipis
matanya. Keringat Namira mengalir setiap mimpi itu datang mengganggunya. Sudah
tiga hari ini ia memimpikan hal yang sama. Selalu saja angannya bergejolak.
“aku harus peringatkan Nisa”
gumamnya lirih. Anisa Rahama adalah sahabat Namira. Meskipun usia persahabatan
mereka belum ada dua tahun, Namira begitu dekat dengan Anisa. Anisa derasal
dari keluarga yang broken home. Ayahnya ketahuan selingkuh dengan teman dekat
ibunya. Ketika mereka tinggal bersama, hampir setiap hari ketika masalah tiba
ibu dan ayahnya terlibat percekcokkan besar. Tak jarang pula ia mendengar
jeritan ibunya yang menangis karena pukulan ayahnya. Pada saat itu yang selalu
ia lakukan adalah menggambil air wudhu dan bergegas solat. Yang ia minta:
semoga Tuhan memperkenankan ayah dan ibunya bersatu lagi agar ia dapat kembali
merasakan indahnya menghabiskan waktu dengan keluarga. Namun ternyata Tuhan
belum mengindahkan permintaannya. Tepat saat Anisa berumur 15 tahun, ibunya
menggugat cerai sang ayah. Sejak saat itu kekecewaannya sangat dalam. Luka itu
begitu mengiris hati Anisa. Meskipun itu telah lama berlalu, namun perasaan
hancur saat itu tak pernah hilang dari sudut ingatannya hingga ia beranjak
dewasa.
Setelah berpikir
demikian, ia kembali ke dipan dan menyambar HP yang tergeletak di samping
bantal.
“Ya Tuhan Ra, di rumah
kamu nggak ada jam ya? Aku baru tidur dua
jam!” terdengar suara protes dari sebrang telepon.
“kamu dimana Nis?” tanya
Namira to the point
“ini larut malam Namira.
Tengah malam begini kamu cuma mau tanya itu?” Timpal Anisa setengah jengkel
“aku tidak tanya ini jam
berapa! Katakan sekarang kamu dimana?” Namira tetap tidak menggubris protes
sahabatnya.
Hening sesaat, sebelum
terdengar helaan nafas dari sebrang telefon. Seketika kantuk Anisa lenyap,
suaranya berganti dengan kalimat-kalimat berirama cepat. “Mimpi itu lagi? Sejak
kapan kamu percaya tafsir mimpi? Akhir akhir ini kamu sering tidak rasional Ra.
Atau jangan-jangan mimpi itu sudah meracuni otak kamu?” kejar Anisa sebelum Namira
sempat mengucapkan sepatah kata pun.
“Ini bukan masalah
rasional atau tidak Nis, sudah tiga hari mimpi itu mengganggu tidurku. Kata orang
Jawa mimpi jam segini bisa dibilang firasat Nis. Aku takut”
“Tapi aku bukan orang
Jawa Ra!” sambar Anisa dengan cepat, suaranya meningkat satu oktaf dari
biasanya.
“Tapi aku iya! Aku yang
mimpi, bukan kamu!”
“Tapi mimpi itu
melibatkan aku! Plis lah Ra, jangan kaya anak kecil. Setiap mimpi kamu artikan
sebagai firasat, Itu nggak rasional! Mungkin mimpi itu memperigatkan kamu untuk
segera solat malam” jelas Anisa
“hmmm.. yasudah lah. Aku
harap kamu berhati-hati Nis, aku nggak mau terjadi apa-apa dengan kamu”
“kamu Ra yang harusnya
berhati-hati dengan pikiran kamu” Anisa menutup pembicaraan.
Namira merebahkan
tubuhnya kembali. Mendekap guling lebih erat dari biasanya. Ada ketakutan yang
tak bisa ia sembunyikan, seberapa besarpun keinginannya untuk menganggap bahwa
mimpi itu cuma bunga tidur yang tak bermakna apa-apa. Meski badannya tampak
rebah, namun matanya tak bisa terpejam. Ya, memikirkan mimpi itu lagi.
Pagi
ini mungkin adalah pagi yang melelahkan untuk Namira. Masih tentang mimpi itu.
Mimpi yang selalu mengganggu siang dan malamnya. Sudah sering kali ia mencoba
menepikan semua rasa yang sedari tadi menggeliak, namun entah kenapa, sebanyak
apapun ia mencoba sebanyak itu juga ia mengalami kegagalan.
Dipandanginya seseorang
yang ada di ujung kelas. Kembali mimpi itu berlarian di pikiraannya. “Mimpi itu lagi” gumamnya dalam hati. Sungguh,
itu menyesakkan dadanya. Namira memberanikan diri mendekati Anisa, meskipun ia
harus melawan isi hatinya. Dipandangnya mata Anisa dalam-dalam, penuh dengan
rasa sayang, atau tidak, mungkin rasa takut kehilangan. Tapi sudahlah, Namira
mencoba melupakan mimpinya semalam.
Namira takkan kuat hati
apabila harus membahas hal sama setiap bertemu dengan Anisa. Ini salah satu hal
tersulit dalam hidupnya. Bagaimanapun juga Anisa adalah sahabat terbaiknya. Namun
tidak dalam mimpi itu. Dalam mimpi itu Anisa menjelma menjadi iblis yang siap
menyeretnya ke neraka. Itu yang selalu ia takutkan.
Namira menggandeng tangan
Anisa ke kantin. Melewati lorong-lorong sekolah yang sunyi yang dimana pada
mimpi itu ruangan itu menjadi saksi setiap jengkal kejadian yang mungkin tak
dapat Namira lupakan.
Seperti yang Namira tulis
pada buku hariannya:
Mana mungkin aku melupakan mimpi itu?
Mimpi itu seperti desir desir angin yang selalu menyepuh
dedaunan
Dan akulah dedaunan itu
Aku tak dapat berdiri tegak, seperti orang bingung
Kesana kemari layaknya tak punya nyawa, dan hanya desir desir
angin yang mebuatku bergerak, namun bergerak seperti orang gila.
Begitulah sekiranya.
“nasi goreng dua ya buk,
yang satu ndak usah pake telur. Munumnya es teh sama air mineral aja” pesan
Namira kepada ibu kantin yang sama – sama dari Jawa.
“siap mbak” sahut ibu
kantin itu dengan cepat.
Namira segara membalik badan setelah mendengar
jawaban mantap dari ibu kantin. Sebelum malangkahkan kaki, dipandanginya lagi
seseorang yang duduk di bangku paling ujung. Ditariknya nafas dalam – dalam,
mencoba meyakinkan diri bahwa tidak akan terjadi apa-apa dengan sahabatnya itu.
Namira mencoba melangkahkan kaki, otaknya dipenuhi puluhan pertanyaan yang
membuat dadanya terasa sesak.
“udah
Ra?” Tanya Anisa sambil meletakkan telepon genggamnya yang tak pernah terpisah
darinya. Sepertinya tepelon genggam itu sangat penting bagi hidupnya. Lima
menit saja telepon genggam itu lepas
dari tangannya, dia akan menanyakan pada semua orang yang ada di dekatnya.
Bahkan pernah suatu saat Anisa dan Namira bertengkar hanya karena Namira tidak sengaja
membawa telepon genggam itu ke kamar mandi.
“udah
kok” sahut Namira sambil mengundurkan bangku.
“aku
udah sarapan loh”
“yaahh...
kenapa nggak bilang. Udah terlanjur pesen dua tau” protes Namira. “kalau aku
traktir, tetep nggak mau?” goda Namira sambil menahan tawa
“mmm,
nggak. Nggak mungkin nolak maksudnya” Tawa Anisa lepas.
Mereka biarkan
pembicaraan mengalir begitu saja. Sambil sesekali melontarkan tawa renyah.
Rasanya sudah lama Namira tidak mendengar tawa Anisa. Maklum saja, Anisa selalu
enggan ke kantin. Ia selalu sibuk dengan telepon genggamnya. Padahal setahu
Namira, Anisa belum memiliki teman dekat. Jangankan teman dekat, untuk sekedar mencaripun
tak mau. Katanya pacar itu tidak penting. Kalau punya pacar kebebasannya akan
berkurang, waktunya untuk bersenang-senang pun otomatis akan tersita gara-gara
sibuk dengan cowok. Ya, Anisa memang suka bersenang – senang. Hampir setiap
waktunya ia gunakan untuk itu. Ia tak peguli berapapun banyak guru yang sudah
menegurnya gara – gara nasib ulangannya yang buruk. Meskipun Namira sudah
berkali –kali mengingatkannya, tapi sama saja. Tak pernah ada perubahan
Setelah menghabiskaam
makanan yang dipesannya, Namira kembali menemui ibu kantin langganannya.
Dikeluarkannya pecahan sepuluh ribuan, kemudian bertanya “pinten buk?” lengkap dengan logat jawanya yang kental
“oalah, Mbak Mira? Nasi
goreng dua: enam riibu, Es teh: dua ribu, air putih: dua ribu. Sepuluh ribu
mbak”
“pas nggih buk” sahutnya sambil menyerahkan uang ditangannya.
Suara bel sudah bergema, sambil berlari kecil ia menemui Anisa dan bergegas ke
kelas untuk memulai pelajaran.
Siang telah tertinggal di
belakang, kini giliran malam yang menyapa Namira. Diatas langit tampak indah
dihiasi milyaran bintang dan satu rembulan yang bersinar penuh. Menatap
kerlipan bintang, ditemani alunan suara gitar yang ia petik sendiri. Matanya
terpejam sejenak, seperti dapat melihat masa depan. Namira menerka-nerka apa
yang sebenarnya sedang terjadi. Di tatapnya lagi sebuah bintang yang paling
terang diatara bintang-bintang yang lain. Desir desir angin menyepuh tubuhnya.
Seperti yang ia gambarkan pada buku harian itu. Bintang itu berkelip indah
seperti; hijau, merah, biru, putih dan begitulah seterusnya. Inilah salah satu
keindahan dari wajah alam yang benar-benar menyejukkan jiwa. Tapi sepertinya
berlawanan dengan hati namira saat itu.
Drrrdd drrrddd
HP-nya bergetar dan
seketika membuyarkan segala lamunan Namira. Sebenarnya ada rasa bimbang untuk
mengangkat telefon itu setalah ia melihat bawa yang keuar di layar HP-nya
adalah Nisa.
“halo Nis,?” jawabnya
dengan nada yang amat hati-hati
“innalillahi..... mana mungkin
Nis?” Tanya Namira sambil mengusap air mata yang mengalir di pipnya
Suara dari balik HP itu
menjelaskan; ‘ Iya tadi dia pergi ke lorong sekolah sama dua temannya.
Alhamdulillah temennya nggak kenapa kenapa. Kalo kata dokter, dia overdosis
narkoba Ra, yang sabar ya Ra’ Begitulah jelas Nissa’ul Jannah,
Ya, mimpi itu benar
terjadi. Tepat di lorong itu, ditemani alat hisap dan dua temannya, Iblis yang
berusaha menyeret Namira ke neraka, dan desir desir angin. Anisa Rahma Nurdias
menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Dan kini giliran Namira,
ia masih melamun di teras rumahnya, di temani desir desir angin yang kini
memang benar-benar membuatnya gila. Mengapa
semuanya terjadi begitu cepat? Andai saja kamu mendengarkan kataku Nis. Desahnya
dalam hati dengan penuh kehati-hatian. Untung saja Namira menolak ajakan Anisa
malam ini untuk menikmati barang haram itu. Sebenarnya ada perasaan tidak
ikhlas di hati Namira, ada rasa penyesalan karena tak dapat mengingatkan
sahabatnya, namun ia tak dapat berbuat apa – apa. Semua lenyap dihempas takdir.
Semua kehendak Sang Kuasa.
Siang ini jenazah Anisa
akan dimakamkan, dan dua temannya tela diseret ke neraka, atau bukan, ini hanya
neraka semantara. Mungkin ini adalah akhir dari segalanya yang sungguh berakhir
mengenaskan.
Desir-desir
mimpi..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar